PARIAMAN-Di sudut Pantai Gandoriah, Pariaman, di tengah hiruk-pikuk wisatawan dan gemuruh ombak yang setia menghempas pasir, berdirilah sebuah lapak sederhana yang dikelola seorang perempuan tangguh bernama Zubaidah. Ia merupakan salah seorang penjual sala lauak yang saya wawancarai ketika pergi ke pantai itu.
Dalam usia 50 tahun, Zubaidah telah menempuh perjalanan hidup yang penuh liku. Ia adalah seorang ibu dari tiga anak yang kini menjadi tumpuan keluarga setelah sang suami berpulang ke pangkuan Sang Khalik beberapa tahun silam.
Pagi hari, saat matahari masih malu-malu menampakkan diri di ufuk timur, Zubaidah telah memulai aktivitasnya. Dengan tangan cekatan, ia mencampur adonan tepung, ikan, dan rempah-rempah khas yang menjadi rahasia kelezatan sala lauak, makanan tradisional khas Pariaman yang renyah di luar dan gurih di dalam. Dari pukul tujuh pagi hingga matahari tenggelam, Zubaidah setia menjaga lapaknya di tepi pantai. Bukan hanya sekadar menjual makanan, ia juga menjajakan cerita tentang perjuangan dan kehangatan seorang ibu.
Lapak Zubaidah berbeda dari warung-warung besar yang berjejer di tepi pantai. Ia tak perlu membayar sewa mahal, hanya cukup merogoh kocek untuk biaya kebersihan harian. Meski sederhana, lapaknya adalah saksi bisu dari berbagai cerita manusia. Ada wisatawan yang terpesona mencicipi sala lauak untuk pertama kali, ada pula langganan setia yang datang sekadar untuk berbincang ringan sambil menikmati senja.
Namun, kehidupan Zubaidah tidak selalu berwarna cerah seperti pantai Gandoriah di musim liburan. Penghasilannya kerap kali pasang surut, mengikuti irama hari. Di hari biasa, ia hanya mampu meraup Rp70.000 hingga Rp150.000, cukup untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga. Namun, saat hari libur, hari raya, atau ketika acara besar digelar di Pariaman, pendapatannya bisa melonjak hingga Rp200.000 hingga Rp500.000.
Sayangnya, tantangan tak pernah jauh dari langkahnya. Persaingan antar pedagang di kawasan pantai cukup ketat, bak ombak yang saling berlomba mencapai garis pantai. Selain itu, sala lauak, yang dahulu menjadi primadona di Pariaman, kini mulai kehilangan pesonanya di mata generasi muda.
“Anak-anak zaman kini ko nyo kurang suko samo makanan mode iko doh, sadolah e labiah mamiliah makanan yang alah moderen tu.” keluh Zubaidah dengan nada lirih, seraya menata dagangannya.
Namun, di balik tantangan tersebut, Zubaidah tidak pernah kehilangan semangat. Baginya, hidup adalah tentang bertahan dan berjuang, seperti akar pohon yang tetap kokoh di tengah badai. Ia percaya sala lauak bukan sekadar makanan, melainkan warisan budaya yang perlu terus dilestarikan. Dalam setiap adonan yang ia buat, ada harapan besar agar makanan khas ini tetap hidup di hati masyarakat, khususnya generasi mendatang.
Pantai Gandoriah, tempat Zubaidah menggantungkan hidup, menjadi saksi dari dedikasi tanpa henti seorang perempuan yang tak kenal lelah. Ombak mungkin akan terus bergulung-gulung dan waktu akan berjalan tanpa henti, tetapi semangat Zubaidah akan tetap terpahat di pasir pantai, menjadi inspirasi bagi siapa saja yang mengenalnya.
Mungkin, di balik satu gigitan sala lauak yang renyah, tersimpan rasa yang lebih dari sekadar gurih, ada cerita tentang cinta seorang ibu, ada mimpi yang tak pernah pudar, dan ada jiwa yang tak pernah menyerah. Zubaidah bukan hanya penjual sala lauak di Pantai Gandoriah. Ia adalah simbol perjuangan, keteguhan, dan cinta yang tak pernah pudar. (Adi Prayoga, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)