opini  

Minum Air Tinja dari Sungai Batanghari

tepian batanghari
Minum Air Tinja dari Sungai Batanghari

Oleh Lia Ariesta

Beberapa waktu silam, saya menemukan iklan dari studi baru Unicef (United Nations Children’s Fund) pada 7 Februari 2022 yang menyatakan bahwa hampir 70 persen dari 20.000 sumber air minum rumah tangga di Indonesia tercemar limbah tinja. Pencemaran ini turut menyebabkan penyebaran penyakit diare, yang merupakan kontributor utama penyebab 522 ribu kematian anak setiap tahunnya.

Data tersebut didapat Unicef dari Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga yang digelar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Perlu diketahui, tinja adalah kotoran yang dikeluarkan dari alat saluran pencernaan ke luar tubuh melalui dubur/anus.

Maraita Listyasari selaku Water Sanitation and Hygiene Specialist Unicef Indonesia menyampaikan bahwa perlu adanya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pasalnya masih banyak orang yang buang air besar sembarangan, seperti di sawah, hutan, sungai, dan semak.

Ia juga mengingatkan bahwa penyakit dapat menular melalui berbagai cara, seperti toilet yang kotor; air tanah yang terkontaminasi tinja karena toilet tidak terhubung dengan tangki septik sesuai standar; dan tangan yang tidak dicuci menggunakan sabun di bawah air mengalir. Selain itu, ia mengingatkan bahwa pentingnya memasang tangki septik (WC) yang benar atau terhubung dengan sistem perpipaan serta rutin melakukan penyedotan sebanyak 3-5 tahun sekali dan tidak menunggu sampai penuh. Hal tersebut dikarenakan penyakit dapat menyebar melalui manusia dengan adanya tanah atau lahan yang tercemar.

Indonesia sebenarnya telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam meningkatkan mutu sanitasi dasar. Namun, angka rumah tangga yang memiliki sarana toilet dengan sambungan tangki septik tertutup dan rutin membersihkan tangkinya minimal satu kali dalam lima tahun adalah kurang dari delapan persen. Akibatnya, limbah tinja tidak terkelola dengan baik sehingga mencemari lingkungan dan sumber air sekitar. Sedangkan sebagian besar penduduk Indonesia masih menggunakan air yang berasal dari air sungai, danau, maupun air tanah sebagai sumber air minum.

Amin Soebandrio sebagai pakar mikrobiologi mengungkapkan bahwa di dalam tinja tidak hanya ada bakteri E. Colli saja, tetapi ada virus dan juga jamur. Itu semua dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti bakteri E. Colli yang menyebabkan diare dan virus Hepatitis A yang menyebabkan peradangan pada organ hati.

Ada beberapa ciri air tercemar tinja yang harus diwaspadai, yaitu air berbau tidak sedap yang biasanya mengeluarkan bau seperti belerang (sulfur) atau busuk dan menyengat; adanya bahan pelarut dan endapan; pH tidak netral (pH normal adalah 7); radioaktivitas meningkat; berwarna keruh; berbusa; memiliki rasa aneh seperti logam, amis, atau pahit; mikroorganisme yang berlebih; serta suhu lebih rendah dibandingkan dengan suhu lingkungan jika berada dalam kondisi normal.

Hal ini diperparah dengan kebiasaan membuang limbah rumah tangga ke dalam badan air lainnya, seperti sungai dan danau. Hasil kajian Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) di Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi menemukan buruknya penanganan sampah yang berakibat timbulnya pencemaran mikroplastik di Sungai Batanghari. Mereka menemukan kontaminasi mencapai 150 partikel mikroplastik dalam 100 liter air.

Mikroplasik adalah potongan plastik sangat kecil dan dapat mencemari lingkungan yang terbentuk dari proses degradasi serta memiliki diameter kurang dari 5 mm. Batas minimal ukuran partikel yang termasuk dalam kelompok mikroplastik belum didefenisikan secara pasti, namun kebanyakan penelititan mengambil objek minimal 300 µm, yang berarti seukuran lebih kecil dari bubuk.

Terdapat dua jenis mikroplastik, yaitu mikro primer untuk produk tertentu yang dipakai manusia, seperti sabun, deterjen, kosmetik, dan pakaian; serta mikro sekunder yang berasal dari penguraian sampah plastik di air. Kedua jenis mikroplastik ini dapat bertahan di lingkungan dalam waktu yang lama.

Mikroplastik dapat ditelan oleh organisme hingga akhirnya mengalami bioakumulasi pada predator puncak, termasuk manusia. Mikroplastik telah ditemukan dalam kotoran manusia dan bahkan pada tahun 2020 silam, mikroplastik ditemukan dalam plasenta ibu hamil serta menyebabkan komplikasi saat kelahiran.

Mikroplastik di air menjadi ancaman serius apalagi bagi kota dan kabupaten yang dilewati Batanghari. Airnya masih digunakan sebagai bahan baku air minum oleh sebagian masyarakat. Ancaman lainnya adalah ikan yang telah terkontaminasi dan menjadi sumber pangan. Mikroplastik menyerupai plankton yang menjadi makanan ikan, dan akhirnya ikan dikonsumsi manusia, sehingga plastik yang dibuang akan kembali ke dalam tubuh kita melalui ikan yang kita makan.

Mikroplastik masuk dalam kategori senyawa pengganggu hormon, maka penyakit diabetes melitus, obesitas, gangguan reproduksi, hingga kanker dan penyakit serius lainnya akan ditemukan jika makanan kita terkontaminasi mikroplastik. Tim ESN mendorong upaya untuk mengendalikan munculnya sampah di tepi Batanghari dengan perlunya menyediakan tempat sampah di setiap daerah yang dilewati Batanghari. Perlu dibuat regulasi pengendalian sampah plastik sekali pakai seperti tas kresek, sedotan, styrofoam, popok, sachet, botol air minum sekali pakai, dan sampah plastik lainnya.

Pada 4 November 2022, saya ke Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmasraya untuk melihat langsung keadaan Sungai Batanghari. Dari Jorong Sungai Duo, saya menggunakan motor melewati Jembatan Pulai yang baru selesai dibangun pada masa pemerintahan Bupati Sutan Riska Tuanku Kerajaan. Jembatan itu membelah aliran Sungai Batanghari yang begitu luas. Sampah yang terbawa arus dan air kuning kecoklatan mendominasi sungai itu.

Baca Juga  Revolusi Peternakan Ramah Lingkungan: Inovasi Teknologi dan Praktik Berkelanjutan untuk Masa Depan

Tampak beberapa bekas peralatan tambang yang ditinggal begitu saja di bawah jembatan. Sekitar 3 tahun lalu saya masih kerap kali menemukan aktivitas penambangan ilegal ini. Namun, akhir-akhir ini saya tidak menemukannya. Entah karena memang sudah tidak ada kegiatan penambangan dengan alasan taat aturan, atau yang kebetulan saya tidak menjumpainya ketika berada di kawasan ini.

Saat setengah perjalan menuju Timpeh, saya menemukan papan besar berisi himbauan yang dibuat oleh program Pamsimas untuk tidak buang air besar sembarangan. Di sana tertulis adanya penyakit yang ditimbulkan dari buang air besar sembarangan dan cara mencuci tangan menggunakan sabun. Menariknya, tidak jauh dari sana ada pemandangan orang-orang yang akan mandi dengan berjalan membawa handuk dan peralatan mandi secara beriringan.

Kemudian, saya juga melihat adanya WC cemplung di dekat jembatan kecil. Padahal saat hujan lebat, air aliran sungai itu dapat meluap dan menutup jalan. Beruntung saat ini air tidak meluap.

Sesampainya di tempat tujuan, saya izin ke dapur pemilik rumah untuk melihat kondisi air minum di daerah sana. Betapa mengejutkan, ada endapan dalam ember yang digunakan untuk menampung air minum tersebut. Air juga terasa seperti logam dan sedikit berbau. Hal ini ditambah dengan air sedikit keruh. Bahkan ketika menggunakan air sumur sebagai aktivitas rumah seperti mandi dan mencuci, air terasa licin ketika terkena kulit.

Saat menanyakan pada pemilik rumah mengenai sumber air ini, diyakini air berasal dari aliran bawah tanah yang tembus ke Sungai Batanghari. Sumartono selaku pemilik rumah mengaku bahwa ketika masa transmigrasi Jawa ke Dharmasraya, air Sungai Batanghari sangat bersih.

“Dulu masa trans tahun 1980-1982 belum ada jembatan, jadi akses masih dengan ponton. Sungai Batanghari pun dulu jernih,” ungkap pria berusia 61 tahun itu.

Saya jadi ingin lebih dekat melihat kondisi Sungai Batanghari. Keesokan harinya, saya kembali ke Nagari Sungai Duo dengan membawa sampel air minum untuk dites kadar pH-nya (kadar keasaman). Kali ini perjalanan saya menggunakan ponton, yaitu sampan besar yang mengapung karena adanya ban besar untuk mengangkut muatan.

Untuk sampai ke bibir sungai dengan fasilitas ponton, saya harus menempuh pejalanan menggunakan motor ke Bukit Lantak. Kami harus menunggu ponton kembali dari seberang, Sikabau. Di sekitar itu, saya melihat adanya aktivitas penambangan pasir yang masih beroperasi. Tidak bisa dipungkiri, segala aktivitas penambangan di sungai membuat kualitas air semakin buruk.

Saat di ponton, saya bertemu oleh seorang wanita paruh baya yang juga ingin menyeberangi sungai. Beliau adalah salah satu anggota komunitas pembatik Dharmasraya. Beliau juga mengaku kalau dulu sungai sangat jernih.

“Dulu sungai ini jernih sekali sampai terlihat ikan khas Dharmasraya dari daratan. Ibu juga pernah membatik gambar ikan ini. Sejak adanya penambangan ini, air jadi keruh dan ikannya tidak pernah terlihat lagi,” tutur beliau.

Setibanya di seberang sungai, kami berpisah dan saya melanjutkan perjalanan dari Sikabau menuju Sungai Duo.

Beberapa hari kemudian, saya menyerahkan sampel air minum yang saya bawa dari Timpeh untuk dites kadar pH-nya. Setelah ditetesi pH drop test, air berwarna hijau lime. Ini menunjukkan bahwa kadar pH adalah 5-6. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, air yang mengandung pH selain 7 (pH normal) berarti telah tercemar.

Untuk meminta informasi tambahan, saya melakukan wawancara ke salah satu tenaga medis Puskesmas Sitiung 1 Jorong Sungai Duo, Dwi Ana. Ana mengungkapkan kalau masih ada beberapa daerah yang menggunakan air sungai langsung untuk aktivitas harian.

“Di Sungai Duo, Pisang Rebus, Sitiung, Pulai, dan Kecamatan Timpeh masih ada sebagian orang yang menggunakan air sungai langsung untuk aktivitas harian, seperti mandi, mencuci, buang air besar, sampai untuk minum. Untuk minum biasanya air disaring atau ditaruh di ember sebelum dimasak untuk memisahkan endapan. Tentunya endapan ini tetap bisa tercampur lagi dengan air minum ketika air itu diambil dan ini jelas berbahaya,” jelas Ana.

Ana juga menambahkan untuk daerah lain sudah beralih menggunakan kamar mandi permanen maupun semi permanen, serta menggunakan air Pamsimas dan air minum galon isi ulang. Selain itu, Puskesmas juga rutin melakukan pengecekan setahun sekali pada air minum galon isi ulang untuk uji kelayakan air.

Sayangnya masih ada beberapa tempat penyedia air minum galon isi ulang yang langsung memasukkan air ke galon dalam keadaan suhu air masih tinggi karena proses perebusan sebelumnya. Ini dapat menyebabkan galon terdegradasi dan melepaskan mikroplastik. Mikroplastik berukuran sangat kecil ini dapat tercampur dengan air minum dan masuk ke tubuh manusia.

Meskipun masyarakat sudah menggunakan kamar mandi di rumah masing-masing, kesadaran untuk melakukan penyedotan WC minimal lima tahun sekali masih sangat kecil. Hal ini juga dapat menyebabkan air tanah tercemar tinja.

Mengingat buruknya kualitas sungai Batanghari dan berdampak pada kesehatan, kita perlu meningkatkan kepedulian terhadap sungai. Sungai Batanghari punya peranan yang sangat besar, salah satunya dari segi budaya.

Perlu kita ketahui, asal mula nama Sungai Batanghari berawal dari Negeri Jambi yang mencari sosok raja untuk memimpin mereka. Syarat untuk dapat menjadi raja Negeri Jambi adalah harus sanggup menjalani ujian, seperti dibakar dengan api yang berkobar; direndam dalam sungai selama tiga hari; dan digiling dengan kilang besi yang besar.

Baca Juga  Dampak KDRT Terhadap Perkembangan dan Psikologis Anak

Penduduk setempat tidak ada yang menyanggupinya. Maka tokoh masyarakat menganjurkan untuk mendatangkannya dari daerah luar. Perjalanan mencari raja dimulai selama berhari-hari dengan medan tempur yang ekstrim.

Akhirnya mereka sampai di India bagian selatan dengan mayoritas penduduknya berkulit hitam. Mereka lalu menyebutnya Negeri Keling, yang berarti Negeri Hitam. Salah seorang dari mereka menyanggupi syarat untuk menjadi raja itu, ditambah lagi ia berjanji akan menjadi raja yang bijaksana serta membuat warga aman, makmur, dan sejahtera. Mereka pun membawa calon raja itu ke Negeri Jambi.

Saat hari sudah petang, mereka tiba di sungai besar yang biasa mereka gunakan untuk aktivitas sehari-hari. Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk menanyakan nama sungai itu.

“Tuanku, calon raja kami. Elok kiranya tuanku jika dapat menjawab sebuah pertanyaan kami,” ucap orang itu.
“Tanyalah mengenai apa saja,” jawab calon raja itu.
“Muara sungai besar yang sedang kita layari ini, apa gerangan namanya, tuan?” tanya orang itu.
“Haaa… Inilah yang bernama muara Kepetangan Hari,” jawab calon raja itu.

Ternyata calon raja tersebut dapat menjawabnya dengan cepat, padahal ia belum kenal dengan sungai tersebut. Mereka pun menyebarluaskan kabar ini. Setelah beberapa tahun berlalu, terjadi perubahan nama menjadi Sungai Petang Hari, dan akhirnya menjadi Sungai Batanghari.

Sungai Batanghari masih menyimpan sejarah lain yang perlu dijaga. Sungai terbesar dan terpanjang di Sumatera ini memiliki panjang hingga 800 kilometer, lebar 300-500 meter, dan kedalaman 6-7 meter. Sungai ini membentang dari Gunung Rasan Kabupaten Pesisir Selatan hingga Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi yang mengarah ke Selat Berhala.

Kabupaten Dharmasraya adalah salah satu kabupaten yang dilintasi sungai ini. Maka tak heran jika sejarah dan potensi daerah yang dialiri Sungai Batanghari selalu berkaitan.

Kembali pada masalah lingkungan Sungai Batanghari, saya menemukan sebuah artikel menarik. Marino Morikawa, ilmuan berdarah Jepang-Peru berhasil membersihkan Danau El Cascajo yang sudah mengalami kerusakan parah karena pencemaran kembali jernih dengan menggunakan nanoteknologi. Teknologi ini 100% organik sehingga sangat ramah lingkungan dan dapat dimakan. Ia menggunakan sistem gelembung mikro-nano dan biofilter untuk menangani masalah ini.

Sistem gelembung mikro-nano dimasukkan ke kedalaman perairan yang tercemar. Gelembung ini menarik bakteri dan mikroorganisme naik ke permukaan, kemudian akan mati karena radiasi dan sinar ultraviolet. Sistem ini bekerja seperti gelembung soda, hanya saja ukurannya 10.000 kali lebih kecil dari gelembung soda bahkan tidak terlihat.

Sedangkan biofilter adalah lapisan media yang ditempelkan berbagai jenis mikoorganisme serta membentuk lapisan biologis dan disebut biofilm. Hal ini menarik bakteri air serta melestarikan spesies baik yang berkontribusi pada konservasi mikro-flora dan bioremediasi.

Morikawa membutuhkan waktu kurangg dari empat bulan untuk membersihkan Danau El Cascajo terbebas dari bakteri, parasit, dan bahan pencemar lainnya. Bahkan teknologi ini juga dapat membersihkan dari bakteri E. Colli dan mikroplastik. Hal ini merupakan titik terang bagi permasalahan Sungai Batanghari.

Meskipun nanoteknologi masih tergolongg bidang baru di Indonesia, bidang ini mulai berkembang ke arah positif karena potensinya menjanjikan dan area risetnya luas. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya publikasi dari berbagai institusi Indonesia, baik di jurnal nasional maupun internasional.

Inovasi ini tentu dapat membantu memperbaiki kerusakan yang terjadi di Sungai Batanghari. Inovasi ini perlu diapresiasi dan dikerahkan dengan tegas. Tentunya di samping itu, yang dapat berperan besar adalah diri kita.

Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk turut serta menjaga sungai, seperti, membawa botol dan tempat makan sendiri yang free BPA dan bisa dibawa ke mana-mana; membawa tas belanja sendiri; merebus air yang sudah difilter dan membiarkannya mendidih selama 1-10 menit; memperbaiki sanitasi menjadi sanitasi tertutup dan rutin menyedot WC minimal 3-5 tahun sekali; tidak membuang sampah sembarangan; rutin mencuci tangan; memilih jenis kain yang bukan poliester; mengubah kebiasaan menjadi hindari, kurangi, pakai kembali, dan daur ulang plastik; serta beberapa aksi lainnya.

Dengan begitu, tidak mustahil Sungai Batanghari dapat kembali menjadi bersih dan dapat menjadi habitat bagi spesies ikan yang hampir punah. (*)

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Isi konten dan foto merupakan tanggung jawab yang bersangkutan. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan maupun foto.

Baca berita lainnya di Google News




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *