Daerah  

Waduh, Anak PAUD Putus Sekolah Gara-gara Rp15 Ribu

PAUD-Sekelompok anak yang bermain dan belajar di PAUD Palito Hati. Mereka saling kenal dan beradaptasi dengan cara mereka sendiri. (edwardi)
PAUD-Sekelompok anak yang bermain dan belajar di PAUD Palito Hati. Mereka saling kenal dan beradaptasi dengan cara mereka sendiri. (edwardi)

SOLOK-Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Palito Hati pagi itu tampak sepi. Hanya lima anak yang belajar dan bermain di sana. Tiga orang guru dengan setia mengajar meski jumlah anak didik sedikit. Lazimnya dunia anak-anak, canda dan tawa menghiasi ruangan PAUD yang dulunya berfungsi sebagai tempat tidur garin masjid.

PAUD Palito Hati terletak di Jorong Guguk Manyambah, Nagari Sungai Jambur, Kecamatan IX Koto Sungai Lasi. PAUD itu sudah dua tahun berdiri. Hingga kini Palito Hati belum pernah tersentuh bantuan pemerintah. PAUD itu terasa istimewa, walau jumlah anak sedikit dan tak didukung kekuatan finansial yang memadai untuk operasional. Palito Hati bisa tetap eksis walau hidup di tengah keterbatasan.

Awal tahun ajaran 2008/2009, Palito Hati memiliki anak didik sebanyak 21 orang. Hingga April 2009, tercatat lima anak saja yang masih aktif. “Selebihnya telah berhenti,” kata Dasliwati, seorang guru Palito Hati.

Guru lainnya, Desrina menyebutkan, untuk biaya pendidikan, tiap orangtua dipungut bayaran Rp15 ribu sebulan. Namun, gara-gara biaya sebanyak itu, orangtua tega membiarkan anak tak sekolah. Kalangan orangtua beranggapan, kalau mesti membayar, tak perlu lagi anak sekolah ke PAUD.

Desrina menyebutkan, bukan ketidakmampuan membayar Rp15 ribu yang menjadi penyebab orangtua melarang anak pergi belajar ke PAUD. Kalangan orangtua murid yang ada di jorong itu, rata-rata mampu membeli rokok dengan harga Rp10 ribu perbungkus. Punya telepon genggam dan mampu membayar kredit sepeda motor. “Anak mengalami putus pendidikan bukan karena kemiskinan,” kata Desrina.

Darmawati, guru di Palito Hati lainnya mengemukakan, persoalan paling mendasar yang mengakibatkan anak putus pendidikan, tingkat kesadaran orangtua yang masih minim terhadap arti pentingnya pendidikan di usia dini.

Menurut dia, kalangan orangtua di Guguk Manyambah menganggap kehadiran anak di PAUD kurang bermanfaat. Kehadiran anak tiap hari di PAUD dianggap sama dengan bermain dengan teman sebaya yang bisa didapatkan anak dalam keseharian di lingkungan masyarakat. “Padahal, lebih dari sekedar bermain yang didapatkan anak bila belajar di PAUD,” katanya.

Kurangnya kesadaran kalangan orangtua terhadap arti pentingnya pendidikan usia dini, bukan hanya terjadi di Guguk Manyambah. Di Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional mencatat, dari 29,8 juta anak usia 0-6 tahun, baru 50,03 persen yang terlayani PAUD. Sebagian besar anak Indonesia yang belajar di PAUD, justru didominasi anak-anak yang tinggal di perkotaan.

Palito Hati baru satu contoh PAUD di pedesaan. Tengok pula di PAUD Al-Fajri yang terletak di Jorong Jambu, Nagari Saok Laweh, Kecamatan Kubung. Di sana, pengelola PAUD mengambil kebijakan, kalangan orangtua tak dipungut biaya bulanan. “Kalau dipungut Rp10 ribu saja sebulan, nanti anak bisa mengalami putus pendidikan,” kata Rasmiati, seorang guru di Al-Fajri.

Pembebasan biaya itu dilakukan dengan harapan kalangan orangtua tidak keberatan untuk melanjutkan pendidikan anak. Biaya operasional Al Fajri di Jorong Jambu, disubsidi dari Al-Fajri yang terletak di Jorong Pincuran Baruah. Di sini, ada 40 anak didik dan biaya pendidikan dikenai Rp10 ribu perorangtua, bukan per anak yang belajar. Bila orangtua memiliki anak dua secara sekaligus belajar di Al-Fajri tetap dipungut Rp10 ribu.

Baca Juga  Obati Gatal-gatal, Coba Datangi Pemandian Air Panas di Kabupaten Solok

Nasib Palito Hati dan Al-Fajri jauh beda. Palito Hati menumpang di ruangan yang sebelumnya dipergunakan garin masjid, sementara Al-Fajri sudah punya gedung sendiri. Al-Fajri juga mendapatkan bantuan Bank Dunia sebesar Rp90 juta. Dana bantuan diperoleh PAUD itu selama tiga tahun berturut-turut sebesar Rp30 juta setahun.

Meski Al-Fajri telah memiliki fasilitas yang memadai, namun pengelola tetap saja tak mau menaikan biaya pendidikan. “Kalau dinaikan nanti malah banyak anak putus pendidikan. Sebagian besar masyarakat belum menyadari arti pentingnya pendidikan anak usia dini,” kata Evi Gusrimawati, guru di Al-Fajri.

Investasi Penting

PAUD merupakan investasi strategis bagi pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan nasional di masa mendatang. Biaya pendidikan Rp15 ribu atau Rp10 sebulan, uang sebanyak itu tak sebanding dengan manfaat yang diperoleh anak kalau anak diberikan kesempatan belajar di PAUD.

Pendidikan usia dini merupakan masa keemasan, sekaligus periode kritis dalam menentukan kehidupan anak di masa selanjutnya. Hasil penelitian mengungkapkan, tingkat kapabilitas kecerdasan anak sekitar 50 persen terjadi dalam usia sebelum 4 tahun, 80 persen dicapai di usia delapan tahun, dan 100 persen pada usia 18 tahun. “Terlalu mahal resiko yang mesti ditanggung kalau membiarkan anak tak menjalani pendidikan di usia dini,” kata dr. Nyoman salah seorang trainer PAUD di Kabupaten Solok ketika dimintai tanggapannya seputar minimnya kesadaran orangtua terhadap arti pentingnya pendidikan usia dini.

Nyoman meyakinkan masyarakat kalau anak belajar itu bermanfaat bagi perkembangan anak di masa mendatang. Pendidikan usia dini merupakan usia emas dalam perkembangan anak. “Banyak yang salah kaprah memandang pendidikan di usia dini,” kata Nyoman, seraya menyebutkan, masyarakat menanggap PAUD sekedar pendidikan. Padahal, PAUD selain pendidikan, juga meliputi kesehatan, gizi dan keterlibatan orangtua.

Makna paling penting dari pendidikan usia dini, adalah upaya memunculkan potensi anak. PAUD memberikan dasar-dasar bagi anak untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. “Tak ada tawar-tawar, sudah menjadi keharusan bagi orangtua mengantarkan anak ke PAUD,” katanya. Pendidikan di PAUD akan menjadikan anak sehat, cerdas, berakhlak mulia dan ceria.

Dia menambahkan, kalau sayang dengan anak, berilah anak pendidikan yang baik. Dalam keseharian, tak banyak waktu yang bisa diberikan ke anak oleh orangtua. Ketidakmampuan membayar Rp15 ribu, bukan alasan yang bisa diterima. “Orang yang minta-minta saja kalau datang ke rumah dikasih, masa iya untuk anak sendiri berat mengeluarkan biaya pendidikan yang sekaligus investasi masa depan,” kata Nyoman.

Menumbuhkan kesadaran terhadap arti pentingnya pendidikan usia dini bukan pekerjaan mudah. Merujuk kepada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar dan PAUD dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. PAUD juga telah menjadi komitmen internasional yang dituangkan dalam Deklarasi Dakkar (2000) yang menyatakan pentingnya perawatan dan pendidikan anak usia dini secara menyeluruh, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung.

Baca Juga  Dialog dengan Peserta Latsitardanus, Ini Pesan Wali Kota Solok

Aturan ini dapat dijadikan legitimasi guna membuat aturan pelaksanaannya, yang bisa saja keharusan bagi anak untuk memiliki sertifikat PAUD sebagai salah satu persyaratan masuk TK dan SD. Diakui ada pendekatan kekuasaan dalam persoalan ini, namun hal ini paling tidak bisa menjadi langkah awal guna lebih menyadarkan masyarakat tentang arti pentingnya PAUD.

Tanpa pendekatan kekuasaan, sulit merubah pemikiran yang terlanjur menanggap pendidikan anak usia dini bukan sesuatu yang penting.

Ubah Pola Bantuan

Guna meningkatkan kualitas pendidikan di PAUD, pemerintah juga mesti mengubah pola bantuan. Belajar dari yang sudah-sudah, pemerintah memberikan bantuan berupa uang kepada pengelola. Saatnya menjadikan bantuan berupa alat peraga pendidikan yang selaras dengan perkembangan zaman. Alat peraga dan permainan yang lebih mutakhir, akan lebih mendorong anak untuk datang ke PAUD. Dorongan ini nantinya lambat laun akan mengalahkan kehendak orangtua yang kurang sadar terhadap pendidikan di usia dini. Alat permainan atau metode pendidikan perlu lebih variatif yang bisa menjadikan anak betah belajar.

Bantuan berupa alat peraga atau permainan, tidak harus mahal dan tidak pula mesti mewah. Belajar dari pengalaman selama ini, PAUD yang menerima bantuan pemerintah, alat permainan diberikan ke anak didik, sama dengan yang mereka dapatkan di rumah. Kondisi itu semakin menguatkan pemikiran kalau PAUD tak memberikan sesuatu yang istimewa, sehingga kalangan orangtua membiarkan begitu saja anak tak ikut belajar.

Bantuan berupa uang tunai lebih baik diberikan kepada tenaga pengajar. Kondisi riil yang ada sekarang, guru di PAUD ada yang bergaji Rp300 ribu sebulan. Itupun di PAUD yang sudah lebih mapan. Sementara PAUD yang hidupnya megap-megap, hanya mampu membayar Rp50 ribu sebulan yang juga tak teratur pembayarannya. Sungguh tak terhingga pengorbanan yang diberikan guru PAUD. Demi kecerdasan generasi mendatang, mereka rela mendapatkan imbalan yang untuk membeli kosmetik saja masih kurang.

Guru yang kesejahteraan memadai tentu akan semakin termotivasi pula memberikan yang terbaik kepada anak didik. PAUD merupakan pendidikan di usia emas, guru yang akan mencetak emas, mestinya diberikan penghargaan yang layak. Demikian pula dengan infrastruktur PAUD.

Sudah saatnya pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap PAUD. Sejak adanya perhatian dari pemerintah, di masyarakat muncul euphoria, sehingga banyak kalangan seakan berlomba mendirikan lembaga itu. Jangan sampai euphoria itu kehilangan arah dan kebablasan. (EDWARDI)

Baca berita lainnya di Google News




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *