PAYAKUMBUH-Usulan untuk mengembalikan julukan Kota Batiah bagi Payakumbuh kembali mencuat. Bukan tanpa alasan, sebutan ini bukan sekadar nama, melainkan identitas historis dan kultural yang telah melekat sejak 1980-an. BATIAH adalah akronim dari bersih, aman, tertib, indah, asri dan harmonis, sebuah filosofi hidup yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat Payakumbuh.
Zeki Dt. Paduko Sati Marajo, salah satu tokoh masyarakat serta tercatat sebagai mahasiswa program doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, menegaskan Kota Batiah bukanlah istilah sembarangan.
“Ini bukan hanya soal kuliner, tapi tentang bagaimana identitas kota dibangun dari akar sejarah dan budaya. Siriah harus dipulangkan ke ganggangnya, pinang harus disurukan ke tampuaknya,” ujarnya.
Zeki menilai penetapan ikon “Kota Randang” kurang tepat. “Randang memang terkenal, tapi tidak eksklusif. Hampir seluruh daerah di Minangkabau mengklaimnya. Sementara Batiah hanya ada di Payakumbuh—itulah yang menjadikannya unik dan layak menjadi identitas kota,” jelasnya.
Ia mengingatkan, membangun branding kota seharusnya berdasarkan keunikan lokal, bukan mengikuti tren kuliner semata.
Ketua KAN Payobasuang, Dt. Mangguang Pirawan menekankan, kembalinya julukan Kota Batiah juga akan membawa dampak positif secara administratif dan lingkungan. “Filosofi BATIAH itu lengkap. Kalau dijalankan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin Payakumbuh bisa kembali meraih Adipura. Karena di dalam Batiah sudah terangkum nilai-nilai kebersihan, keteraturan dan keharmonisan sosial,” tegasnya.
Desakan agar Payakumbuh kembali menyandang predikat Kota Batiah juga menjadi ujian bagi kepemimpinan Wali Kota Zulmaeta dan Wakil Wali Kota Elzadaswarman. “Ini momentum penting. Kembalinya identitas Kota Batiah bukan sekadar nostalgia, tapi strategi pembangunan berbasis budaya dan kearifan lokal,” tutup Zeki Dt. Paduko Sati Marajo. (jnd)