opini  

Gen Z dengan Second Account: Benarkah Tanda-tanda Depresi?

Ilustrasi. (sugenghartono.ac.id)
Ilustrasi. (sugenghartono.ac.id)

PADANG-Gen Z menjadi topik hangat di media sosial. Dari berbagai polah dan tingkah laku yang membuat generasi atasnya geleng-geleng kepala. Gen Z, terkenal dengan hidupnya yang santai dan sesuai mood, ternyata paling banyak mengalami stress. Penyakit mental seperti depresi sangat erat hubungannya dengan Gen Z. Mudahnya akses untuk menyebar dan melihat berita, memudahkan mereka mencurahkan isi hati di media sosial.

Walaupun mempunyai berbagai kreatifitas dalam berpikir serta segudang ide, banyak dari Gen Z mempunyai rasa ketikpercayaan diri atau insecure. Kecemasan karena standar yang ditetapkan, dan rasa takut jika tidak bisa mencapai standar tersebut bamalah menghantui banyak dari kalangan mereka. Media sosial sudah menjadi bagian dari Gen Z, ketidaknyamanan dalam memberikan informasi dan aktivitas pribadi secara lebih, mengakibatkan kebanyakan dari Gen Z mempunyai akun yang lebih dari satu diberbagai platform media sosial, salah satunya seperti Instagram.

Biasanya, akun intstagram utama tidak banyak memberikan informasi, feed kosong atau hanya satu postingan, dan akun diprivasi. Sangat menggambarkan Gen Z. Sedangkan pada akun kedua atau second account hanya diikuti oleh bebrapa orang yang diirasa dekat. Di sanalah mereka banyak memposting keseharian, pengalaman dan perasaan yang sedang dialami. Pribadi yang berbeda dapat dilihat dari sini, akun pertama yang terlihat sangat misterius sangat berbanding terbalik dengan akun kedua yang terlihat apa adanya.

Kebanyakan dari mereka lebih mudah membagikan kegiatan atau aktivitas di akun kedua dari pada akun pertama. Jika ingin memposting pada akun pertama, penuh dengan kehati-hatian dan berpikir berulang kali, apakah postingan tersebut cocok untuk diupload. Namun, beberapa ahli Kesehatan melihat bahwa, ini merupakan tanda dari masalah yang serius. Guru besar psikologi di Universitas Diponegoro, Dian R Sawitri menjelaskan, media sosial menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna, di mana penggunanya cenderung hanya menunjukkan sisi positif dari kehidupan mereka.

Baca Juga  Efek Aditif Pakan terhadap Kesehatan dan Produktivitas Sapi Perah

Ini yang menyebabkan rasa kehati-hatian itu tumbuh dan berkembang dalam benak mereka. Rasa cemas dan ketidakpuasan untuk memenuhi standar baru dalam media sosial yang ada, membuat mereka takut untuk menunjukan sisi yang sebenarnya. Sehingga, ini akan berdampak pada keseatan mental, seperti depresi, kecemasan dan ketakutan yang menghantui mereka. Banyaknya konten yang negatif dan banyaknya perbandingan sosial di medsos dapat mengurangi rasa ketidakpercayaan diri.

Media sosial juga dapat menyebabkan ketergantungan, apalagi di kalanagn Gen Z. Adanya akun kedua, sebagai tempat curhat dapat mengakibatkan rasa ketergantungan, jika tidak ada update satu hari saja, sudah pasti seperti ada yang kurang. Ketergantungan sepert ini lah, yang mengakibatkan dampak buruk pada Gen Z.

Gen Z, sebagai generasi digital harus mempunyai kemampuan untuk menunjukan sisi yang lebih baik, mereks msmpu menunjukkan lebih dari satu kepribadian. Tapi, yang paling menarik adalah, akun yang dimiliki oleh Gen Z tidak hanya dua akun. Biasanya mereka memiliki akun lebih dari dua. Biasanya akun pertama, akun yang mempunyai banyak pengikut tapi tidak banyak postingan, akun kedua adalah tempat mengekspresikan diri secara bebas, dengan pengikut beberapa orang yang dianggap dekat. Sedangkan akun ketiga, biasanya tidak ada yang mengikuti, disana mereka lebih bisa mengekapresikan diri sesuai keinginan hati tanpa perlu memikirkan orang lain.

Baca Juga  Formula 1 di Indonesia, Apakah Mungkin?

“Akun pertama biasanya punya vibe yang lebih formal dan lebih dilihat oleh banyak orang, jadi aku cenderung ngejaga postingan aku di akun pertama. Sedangkan, akun kedua itu biasanya lebih santai dan pribadi, aku pake sebagai tempat sharing kegiatan sehari-hari tanpa mikirin pandangan orang lain dan lingkarannya lebih sempit atau orang yang lebih aku kenal secara personal kayak keluarga sama teman dekat. Kalau sharing aktivitas ke akun kedua tuh bisa jadi cara untuk menjaga privasi dan menghindari risiko over-sharing di platform yang terlalu publik. Jadi aku ga perlu terlalu khawatir kalau mau post hal-hal sederhana dari keseharian aku. Intinya, akun kedua itu kayak ruang nyaman buat jadi diri sendiri tanpa ribet dan mikirin apa kata orang,” kata Fanny. (Ajeng Dian Sartika, Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Andalas)

Baca berita lainnya di Google News




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *