Pada akhir-akhir ini terjadi isu hangat terkait Politik Kartel yang terjadi pada Pilkada Jakarta 2024. Salah satu topik terhangat pada baru-baru ini adanya kasus politik kartel pada mantan calon Gubernur DKI Jakarta yaitu Anies Baswedan.
Politik kartel diartikan sebagai proses kerjasama antar partai politik yang memiliki kuasa di parlemen dan pemerintahan dalam mengendalikan setiap dasar negara sesuai dengan keinginan mereka. Implementasi politik kartel ini dapat diartikan sebagai suatu blokkade yang dilakukan oleh koalisi Partai politik dalam menetukan calon yang akan diusung untuk kontestasi pemilihan berdasarkan kepentingannya.
Dalam politik Kartel ini banyak dilakukan oleh para oligarki yaitu sekelompok golongan elit. Tujuan para elit melakukan praktik politik kartel untuk memuluskan jalannya baik dalam melaukan kebijkannya ataupun mengatur seusai kehendaknya. Penerapan politik kartel ini sangatlah jauh dari kata demokrasi.
Diungkapkan oleh Kuskridho Ambardi dalam bukunya “Mengungkap Politik Kartel”, penyebab terjadinya kartelisasi adalah untuk mengawasi dan mengamankan kelangsungan hidup kolektif yang mau tak mau harus meharuskan suatu koalisi politik untuk membentuk kartel.
Di dalam karakrternya, politik kartel ini dapat dilihat dari permainan yang dilakukan oleh berabagai partai-partai mayoritas atau partai besar mengendalikan kekuasaannya untuk mengusung dan memblokade suatu calon dengan kerjasama dengan berbagai partai besar lainnya sehingga meninggalkan partai-partai kecil atau partai minoritas yang ditujukan untuk mempermudah kinerja mereka untuk melakukan praktik dan kebijakan dalam usaha untuk mempertahankan kekuasaannya di kalangan atas.
Yang terjadi di Indonesia ini, masalah dalam politik kartel di Indonesia dengan cara politik yang bertumpu pada konsolidasi antar partai serta antara partai dengan pemerintah, yang dalam praktiknya tidak melakukan persaingan secara sehat, tetapi bertujuan untuk mengambil keuntungan secara curang. Dalam praktik juga dapat dilihat dari dalam sistemnya diatur kecenderungan hanya pihak yang mengendalikan modal yang dapat mengedalikan sistem perpolitikan, baik partai dominan atupun oligarki yang mencoba mengatur sistem pemerintahan di indonesia.
Kegiatan politik kartel ini menghilangkan esensi dari suatu praktik demokrasi. Dalam kegiatannya, rakyat tidak lagi mampu membandingkan ataupun memilih suatu pemimpin dengan rekam jejak, dan presitasi yang cukup baik. Oleh karenanya, Demokrasi kehilangan tempatnya sebagai suatu alat yang mampu mewujudkan kedaulatan rakyat diakibatkan praktik kartelisasi yang terjadi untuk menentukan dalam mempertahankan legasi atau kekuatan dengan apapun caranya.
Dalam contoh kasus ini adalah, yang terjadi baru-baru ini dengan ditujukan oleh fenomena penjagalan yang dilakukan partai mayoritas untuk menggagalkan Anies Baswedan untuk maju kembali dalam Pemilu Gubernur DKI Jakarta.
Fenomena tersebut diawali dengan elektabilitas Anies Baswedan yang memiliki elektabilitas tertinggi yaitu sebesar 43.8%. Sebagai mantan Gubernur Jakarta, Anies sangat dikenal dalam berbagai praktik kebijakannya di Jakarta dahulu dengan membangun berbagai infrastruktur seperti Stadium Jakarta Internasional Stadium (JIS),Jakarta Internasional E-Pric Circuit (JIPC) dan kebijakan lainnya.
Tetapi, elektabilitas Anies Baswenan tidak menjadi ketertarikan pada partai-partai mayoritas dengan membentuk Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang bertujuan untuk menghalangi jalannya Anies Baswedan dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta kembali. Koalisi ini mengcakup berbagai partai mayoritas seperti Gerindra, Golkar, dll. Yang menyebabkan Anies kurang mendapatkan dukungan dari partai politik untuk mengusungkan.
Operasi politik ini berhasil menjegal Anies Baswedan untuk tidak mendapatkan dukungan partai politik sama sekali.Sebelumnnya, Anies diusung oleh PKS untuk maju dalam pencalonan Gubernur di DKI Jakarta.
Dalam proses pencalonan tersebut juga Anies dipasangkan dengan salah satu kader PKS yaitu M, Shohibul Iman. Namun, alih-ali maju dalam kontestasi pencalonan Gubernur DKI Jarkarta, PKS sebagai partai pendukung dari Anies justru memalingkan perhatianya dengan bergabung dengan KIM Plus.
Diungkapkan dalam berbagai laman, alasan keluarnya Partai PKS dari pencalonan Anies dan Shohibul Iman dalam kontestasi ialah karena partai PKS tak kunjung menemukan tak kunjung menemukan partai koalisi lainnya.
Hal itu didasari dikarenakan blokade yang dilakukan oleh KIM Plus tersebut.Hingga pada akhirnya, Partai PKS bergabung dengan KIM plus dengan mendukung calon Gubernur DKI Jakarta dari KIM Plus yaitu Ridwan Kamil. Partai PKS juga mengusung salah satu kadernya yakni Suswono yang dipasangkan menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan Ridwan Kamil.
Keadaan tersebut pada akhirnya dapat memperlihatkan bahwa praktik penjelagan dengan menggunakan praktik politik kartel ini dapat merenduksi demokrasi yang ada di Indonesia dengan mengontrol pengusnungan berbagai calon untuk memperlancar mereka untuk menciptakan berbagai kebjiakan yang igin diraih dan tercapainya tujuan dan cita-cita yang diidam-idamkan oleh koalisi tersebut.
Dapat dikatakan bahwa praktik politik kartel ini menjadikan kemuduran demoktasi yang terjadi di Indonesia saat ini. Dengan berbagai dinamika yang dihadirkan oleh praktik kartelisisasi baik yang direncakan pada suatu koalisi partai politik ataupun pengaturan yang didasari oleh oligarki untuk memuluskan berbagai praktiknya di Indonesia. (Vandry, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Andalas)