opini  

Dunia Tanpa Luka: Mengakhiri Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ilustrasi.
Ilustrasi

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah pelanggaran hak asasi manusia yang umum terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. KDRT sering dianggap sebagai “urusan rumah tangga” yang diabaikan oleh masyarakat, membuat korban menghadapi trauma sendirian.

Korban sering merasa tidak berdaya melawan atau melaporkan kekerasan karena takut akan balas dendam, rasa malu, atau ketergantungan ekonomi. Penting untuk mengubah persepsi masyarakat mengenai KDRT dan mengambil langkah konkret untuk menghentikannya.

KDRT melibatkan kekerasan di lingkungan rumah tangga antara pelaku dan korban yang biasanya memiliki hubungan dekat, seperti dalam keluarga atau pernikahan. Jenis kekerasan ini bisa berupa fisik, psikologis, seksual, atau ekonomi.

Kekerasan fisik, seperti memukul atau menendang, mudah dikenali, tetapi bentuk kekerasan lainnya, seperti psikologis, sering kali lebih sulit dideteksi. KDRT psikologis dapat meliputi penghinaan atau manipulasi yang merusak kesehatan mental korban, sedangkan kekerasan ekonomi terjadi saat pelaku mengontrol akses korban terhadap uang dan sumber daya.

Dalam masyarakat patriarki, KDRT sering dianggap wajar. Ada anggapan bahwa suami berhak memukul istri yang tidak memenuhi ekspektasi. Pandangan ini berbahaya karena melegitimasi kekerasan.

Selain itu, norma sosial yang membatasi hak perempuan membuat banyak yang merasa tidak mempunyai hak untuk melawan. KDRT juga sering dipicu oleh tekanan ekonomi, yang dapat menyebabkan stres dan konflik antara pasangan. Meski kondisi ekonomi sulit tidak bisa menjadi alasan untuk kekerasan, banyak keluarga menghadapi masalah tanpa mengandalkan kekerasan.

Baca Juga  Birokrasi Menurut Max Weber dan Birokrasi di Indonesia

Dampak KDRT sangat besar dan sering berkepanjangan. Korban kekerasan fisik bisa menderita cedera serius, sementara dampak psikologis bisa lebih sulit diatasi, seperti trauma atau gangguan mental.

Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh anak-anak yang mungkin mengalami kekerasan atau menyaksikannya. Pengalaman traumatis ini dapat memengaruhi perkembangan anak, membuat mereka lebih mungkin terlibat dalam hubungan abusif di masa depan.

Banyak korban KDRT memilih untuk tidak melapor karena malu, takut balas dendam, atau merasa tidak ada dukungan. Norma sosial yang menganggap KDRT sebagai urusan keluarga dapat menambah perasaan ini. Untuk mengatasi KDRT, diperlukan pendekatan dari berbagai pihak. Penting untuk meningkatkan kesadaran tentang KDRT dan pentingnya melindungi hak asasi manusia. Pendidikan sejak dini tentang kesetaraan gender dan resolusi konflik tanpa kekerasan dapat membantu.

Media juga berperan menyebarluaskan pesan anti-kekerasan. Kampanye publik tentang dampak KDRT dapat mengurangi stigma. Dukungan hukum juga diperlukan, meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT masih menghadapi tantangan. Ada kebutuhan akan pelatihan bagi aparat hukum dan pengembangan layanan perlindungan bagi korban.

Rehabilitasi pelaku juga penting, karena banyak pelaku adalah mantan korban kekerasan. Program konseling dan manajemen emosi dapat membantu mengubah perilaku kekerasan mereka. Masyarakat harus mendukung korban KDRT dengan mendengarkan pengalaman mereka tanpa mengadili. Jika mengetahui kasus KDRT, penting untuk melaporkannya.

Baca Juga  Generasi Z dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Publik: Ketika Aktivisme Muda Menjadi Tantangan bagi Pemerintah

Mengakhiri KDRT mungkin tampak seperti tugas yang berat, tetapi bukan hal yang mustahil. Dengan bekerja sama, kita dapat menciptakan dunia di mana setiap individu merasa aman dan dihargai, tanpa takut akan kekerasan di rumah mereka sendiri.

Rumah seharusnya menjadi tempat berlindung yang penuh kasih, bukan medan perang yang penuh luka. Oleh karena itu, mari kita mulai dari diri sendiri. Jangan pernah mentolerir kekerasan, sekecil apa pun bentuknya. Dengan cinta, keberanian, dan empati, kita bisa membangun dunia tanpa luka, di mana setiap orang dapat hidup dengan damai dan bermartabat. (Rit Putri, mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas)

Baca berita lainnya di Google News




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *