opini  

Apakah Ruang Aman Hanya Selebar Ketiak Ayah dan Bunda

Ilustrasi.
Ilustrasi

PADANG-Pelecehan secara verbal ataupun fisik adalah hal yang tentu dapat terjadi pada
siapa saja. Kasus pelecehan yang terjadi belakangan tidak lagi memandang jenis kelamin dan rentang usia. Hal itu dipicu dari adanya pembiaran oleh lingkungan tempat tinggal, dan juga kurangnya pemahaman yang baik terkait batasan pergaulan.

Dari kasus-kasus yang terjadi di masyarakat belakangan, terutama lingkungan kampus menjadi cerminan masih tabunya pendidikan seks di tengah masyarakat. Ramainya kasus-kasus yang ada di lingkungan kampus membuat kita perlu mawas diri, khusus bagi para anak rantau, yang jauh dari penjagaan ayah bunda.

Sebab pelecehan tidak hanya soal memaksa melakukan hubungan seksual tapi juga meraba, memegang anggota tubuh manapun dengan sengaja tanpa persetujuan. Buktinya dengan lengan baju yang sudah tidak lagi disingsingkan, jilbab yang tidak lagi menyampir ke bahu tapi dijulurkan tidak menyelamatkan kami dari korban pelecehan.

Benarkah ruang aman hanya pada ayah dan bunda?

Pelecehan dan kekerasan seksual tidak berbekas dari luar, tapi ia merusak mental secara diam-diam. Memendam trauma akibat pelecehan seksual tidak ubahnya seperti memelihara bom waktu, suatu hari bisa meledak dalam bentuk penyakit mental dan pelaku.

Maka kampus-kampus sebagai wadah pendidikan moral juga harus mengambil peran dalam pencegahan dan bekerja dengan aparat hukum dalam menindak tegas para pelaku.

Dilihat dari banyaknya rentetan kasus yang pernah terjadi di kampus-kampus
Indonesia, dapat dikatakan kekerasan seksual yang harus ditangani serius dan dituntas bersama.

Guna membangun sebuah kesadaran dan pemberian pendampingan korban pelecehan, pernah dirilis sebuah film berjudul Penyalin Cahaya yang mengangkat isu pelecehan seksual di kampus.

Walaupun dianggap sedikit blak-blakan, film ini menurut saya juga mampu memberikan pandangan bagaimana seharusnya kita bersikap apabila seseorang telah menjadi korban.

Masa dewasa ini, perlu kita cermati baik-baik bahwa kasus pelecehan telah merebak di mana-mana. Ia telah menjadi ancaman serius bagi generasi bangsa Indonesia, kerusakan fisik dan psikis korban sangat mungkin terjadi. Hal ini tentu akan menghambat program pemerintah yang digadang-gadang tengah membangun sumber daya manusia yang berdaya saing.

Saat seseorang mengalami hal diatas, mereka akan cenderung kehilangan rasa percaya diri, namun ironinya bukan malah mendapat dukungan tapi dikucilkan dalam masyarakat. Agar tidak memperpanjang lingkaran setan tersebut, ada baiknya kita mulai menanamkan rasa toleransi dan harus memberikan ruang di masyarakat. Hal ini tentu, sebab mereka para korban sendiri pun tidak mengingkan hal ini terjadi.

Generasi kita tidak lagi boleh cacat, jika mereka terluka haruslah kita dekap dan memberikan pendampingan serius pada mereka yang menjadi korban pelecehan. Negara pun dalam hal ini memiliki peran yang sama, sebab jika terus terjadi hal serupa artinya negara telah gagal dalam melindungi aset terbesarnya, yaitu warga negaranya.

Berangkat dari hal ini, seharusnya perguruan tinggi, sekolah, organisasi masyarakat dan lainnya menjadi ruang aman bagi orang-orang di dalamnya. Perlu kita tanamkan sekali lagi pemahaman bangsa yang sehat tidak mungkin lahir dari generasi yang hidup dalam trauma dan luka. (Dinda Yulia Putri, Mahasiswi Program Studi Sejarah Universitas Andalas)



Kunjungi Kami di Google News:

google news
Exit mobile version