PADANG-Di era digital saat ini, Generasi Z yang terdiri dari orang-orang yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, telah menjadi kekuatan penting dalam politik dan sosial di era teknologi modern.
Dengan ketersediaan informasi yang luas dan berbagai platform media sosial, mereka tidak hanya dapat mengonsumsi konten tetapi juga mengembangkan gagasan yang dapat mempengaruhi kebijakan publik. Aktivisme mereka semakin terwujud dalam berbagai isu, mulai dari lingkungan hingga keadilan sosial, yang mencerminkan kepedulian mendalam terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat.
Pada dasarnya, aktivisme merupakan tindakan yang dilakukan untuk mendorong perubahan sosial. Menurut Brian Martin, aktivisme adalah gerakan yang diambil demi suatu tujuan, yang sering kali melampaui norma-norma konvensional dan rutinitas sehari-hari.
Sementara itu, dalam Activist Handbook, aktivisme didefinisikan sebagai usaha kolektif untuk menghadirkan perubahan dari tingkat akar rumput. Dalam konteks ini, kolektif merujuk pada sekelompok orang yang bekerja sama menuju tujuan yang sama. Penting untuk dipahami bahwa seseorang tidak perlu menjadi seorang ahli untuk terlibat dalam aktivisme, dan tidak perlu mengidentifikasi diri sebagai aktivis untuk dapat memberikan dampak positif.
Generasi Z dianggap sebagai kelompok orang yang kritis, inklusif, dan sangat terhubung. Mereka dibesarkan di tengah perkembangan teknologi yang cepat, masalah iklim, dan ketidakadilan sosial. Pengalaman ini telah mengubah cara mereka melihat dunia dan mendorong mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam berbagai masalah yang mereka anggap penting.
Generasi Z sadar akan masalah ini dan bertekad untuk membawa perubahan yang positif dan berkelanjutan bagi masyarakat. Aktivisme Generasi Z tidak hanya berfokus pada isu-isu lokal, tetapi juga merambah ke tingkat global. Mereka dengan berani menyuarakan pendapat dan mengorganisir aksi untuk berbagai masalah, mulai dari perubahan iklim, politik, hingga keadilan sosial dan ekonomi.
Contohnya, Di Indonesia, gerakan #ReformasiDikorupsi mencerminkan ketidakpuasan generasi ini terhadap praktik korupsi dan politik yang merugikan rakyat. Mereka tidak ragu untuk meminta transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpin politik, dengan menggelar aksi-aksi demonstrasi yang melibatkan mahasiswa dan anak muda di berbagai kota.
Ini menunjukkan Generasi Z siap berjuang untuk menegakkan keadilan dan memperjuangkan hak-hak sipil. Dengan semangat tersebut, mereka membuktikan diri sebagai agen perubahan yang berkomitmen tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk generasi mendatang, memastikan bahwa suara mereka didengar dan diperhitungkan.
Salah satu faktor utama yang mendorong aktivisme Generasi Z adalah media sosial. Platform seperti X, Instagram, dan TikTok berfungsi sebagai alat efektif untuk menyebarkan pesan dan menggerakkan massa. Dengan kemampuan menjangkau audiens luas dalam waktu singkat, mereka dapat mengorganisir protes dan kampanye mengenai isu-isu penting bagi mereka.
Pengaruh aktivisme ini sangat signifikan dalam membentuk kebijakan publik. Generasi Z aktif menggunakan media sosial untuk mengadvokasi isu-isu politik yang mereka pedulikan, menyampaikan pesan kepada ribuan orang dalam sekejap.
Saat berhak memilih, mereka menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi dalam pemilu, menyadari bahwa suara mereka dapat mempengaruhi kebijakan. Selain itu, mereka cenderung mendukung kandidat yang berkomitmen pada isu-isu yang relevan, seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, dan hak-hak tertentu.
Mereka memanfaatkan platform digital untuk mengatur demonstrasi, memberikan pendidikan, dan mempengaruhi masyarakat. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya menonton politik secara pasif, tetapi juga berpartisipasi dalam perubahan kebijakan saat ini.
Generasi Z membantu meningkatkan kesadaran akan masalah penting dan mendorong partisipasi masyarakat untuk memperjuangkan perubahan yang lebih baik melalui pendekatan yang inovatif dan kreatif.
Namun, dengan munculnya kekuatan aktivisme ini, pemerintah dihadapkan pada tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak pemimpin yang tidak memahami atau menghargai sepenuhnya perspektif Generasi Z, yang sering kali merasa terancam oleh suara-suara baru ini. Akibatnya, respons mereka cenderung defensif, yang sering menyebabkan demonstrasi dilarang atau dibatasi. Tindakan seperti ini hanya akan menambah jarak antara generasi muda dan mereka yang membuat keputusan.
Sangat penting bagi pemerintah untuk memulai diskusi konstruktif dengan Generasi Z untuk mengatasi masalah ini. Mereka harus diperlakukan sebagai mitra dalam perumusan kebijakan, bukan sekadar objek yang perlu diatur.
Melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan tidak hanya akan membuat kebijakan lebih masuk akal dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi juga dapat meningkatkan kepercayaan rakyat dan legitimasi pemerintah. Metode ini memungkinkan kedua belah pihak bekerja sama untuk menghasilkan kebijakan publik yang lebih responsif dan inklusif, yang memastikan bahwa suara generasi muda didengar dan diperhitungkan dalam setiap langkah yang diambil.
Generasi Z telah menunjukkan bahwa mereka adalah kekuatan yang tak bisa diabaikan dalam membentuk kebijakan publik. Aktivisme mereka menjadi tantangan nyata bagi pemerintah, yang harus beradaptasi dengan cara-cara baru untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat. Melalui upaya kolaboratif dan dialog yang konstruktif, kita memiliki harapan untuk melihat kebijakan publik yang lebih responsif dan inklusif.
Di tengah tantangan ini, sangat penting bagi semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat untuk saling mendengarkan dan berkolaborasi demi menciptakan masa depan yang lebih cerah. Dengan sinergi yang tepat, kita dapat menghadapi isu-isu yang ada dan membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera bagi semua. (Elfina Rama Yanti Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas)