opini  

Disharmonisasi Otonomi Daerah, Dunia Birokrasi Kian Memilukan

Syamsul Azwar
Syamsul Azwar

Pasca bergulirnya reformasi perobahan sistem pemerintahan di negara tercinta ini. Dari sistem setralisasi beralih ke sistem desentralisasi, mayoritas kewenangan dan kebijakan selama ini berada di pusat dipercayakan sejumlah kewengannya ke pemerintah propinsi dan kabupaten.

Pelimpahan kewenangan inilah disebut dengan otonomi daerah (otoda). Selain memberikan banyak dampak positifnya, juga menyisakan dampak negatif yang sangat memprihatinkan untuk daerah dan masyarakat. Penulis akan mencoba memaparkan dari pengamatan sejak kran demokrasi dibuka.

Di antaranya pelaksana otoda belum optimal adalah terjadinya disharmonisasi antar elit, lembaga dan lainnya. Hal lain yang sangat memiriskan serta memilukan sekali adalah dunia birokrasi, kondisinya kian mencapai titik nadir. Stagnasi pemerintah akan digerus waktu. Mari kita bahas dan kupas realita pahit dan baiknya di balik penyelenggaran otonomi daerah.

Penerapan penyelenggaraan otonomi daerah banyak memberikan kemajuan dan keuntungan bagi daerah, munculnya daerah daerah mandiri serta transformasinya pemimpin pemimpin baru. Bagi daerah yang baik dalam pelaksanaannya akan memiliki daya saing serta mampu melahirkan inovasi dan kreasi dari penggalian potensi daerah yanh dipimlinnya.

Ini amat tergantung dengan cara dan gaya pemimpin daerah tersebut, bagaimana ia mengambil momentum dalam menyikapi otonomi daerah itu sendiri. Banyak daerah yang baik dan dinilai pesat pembangunannya serta dinilai berhasil dalam kepemimpinannya. Salah satu dari petualangan penulis, kita lihat daerah yang terbilang masih bayi setelah mekar, seperti Kabupaten Darmasraya yang berbatasan langsung dengan Jambi.

Dalam sepuluh tahun terakhir, perkembangan daerah baru yang dipimpin anak muda Sutan Riska Tuanku Kerajan ini telah memoles daerah ini sejajar dengan daerah yang telah lama lahir dalam penyelenggara pemerintahan di Sumatera Barat ini. Maaf ya bila penulis mencontohkan salah satu daerah di Ranah Minang ini.

Sebab sangat memantaskan kita berbangga rasanya sebagai orang Sumatera Barat, dulu Darmasraya tak labih dari sebuah kecamatan tertinggal terletak di daerah perbatasan dan perlintasan Sumbar. Kini daerah ini telah berobah menjadi sebuah kota. Ini amat tergantung dari keinginan seseorang dalam memimpin melahirkan inovasi inovasi dan kebijakan strtegis untuk daerahnya.

Banyak daerah lain di republik ini juga tak kalah majunya. Pemimpinnya mampu menggali dan memanfaatkan potensi lokal menjadi aset dan sumber kekayaan dan pendapatan dsli daerah (PAD). Para gubernur, bupati dan walikota saling berlomba dalam mengejar prestasinya, sehingga terbangunnya harkat dan martabat daerah yang dipimpinnya di mata daerah lainnya.

Disharmonisasi dalam otonomi daerah

Di antara banyak kemajuan dari pelaksanaan otonomi daerah serta perubahan pemilu sistem pemilihan langsung memberikan bentuk transformasi pemimpin lokal, kemudian kedaulatan itu berada di tangan rakyat. Mereka memiki hak penuh dalam menentukan siapa yang dinginkan jadi pemimpinnya. Namun selama 20 tahun amatan penulis Otoda juga menyisakan sekelumit persoalan persoalan pahot di beberapa daerah.

Ada beberapa aspek yang menjadi kajian bagi kita di antaranya adalah sisi kelam dalam pelaksanaan otoda tersebut, beberapa daerah masih terlihat buruknya serapan APBN, perencanaan tak lagi partisipatif di era digitalisasi. Tak sedikit dari desa dan daerah yang telah menerapkan sistem digitalisasi di tubuh pemerintah dalam pelayanan, perencanaan serta penyelenggaraan roda pemerintahan.

Daerah maju sangat tergantung dari keinginan pemimpin dan dukungan rakyatnya. Namun masih juga kita menyaksikan beberapa daerah dengan kepemimpinannya yang terkesan buruk. Apalagi di era maju media sosial telah memberikan infomasi informasi yang kilat.

Selain itu yang cukup membuat kita prihatin sebuah dampak negatif dari otoda itu adalah terjadinya disharmonisasi antar lembaga di tubuh pemerintahan, antara gubernur dan wakilnya, bupati dan pasangan terpilihnya, kepala daerah yanh dibuli rakyatnya. Kondisi ini mayoritas kiya saksikan terjadi di banyak daerah. Harminosasi pasangan terprilih itu hanya berlangsung hitungan bulan, sampai akhir jabatan tak kunjung terbangunnya sesama manusia.

Disharmonisasi itu juga menjadi bagaian dari kegagalan para pemimpin produk dari pemilihan langsung. Sebab pemimpin pilihan rakyat itu adalah orang yang dimajukan selangkah, dituakan untuk mengayomi, membela serta menyelesaikan senketa rakyatnya. Barangkali masyarakat tak akan pernah merasakan bila kehadiran pemimpin itu belum mampu menciptakan stabilitas daerah aman dan nyaman yang selalu dirindukan masyarakat.

Banyak contoh terjadinya disharmonisasi di tubuh pemerintah itu, selain hubungan kepala daerah dan wakilnya, juga terjadi ketengangan dan tak pernah akur antar lembaga, saling serang, saling fitnah dan menjelekkan. Padahal terbangunnya kemitraan yang padu itu merupakan langkah awal untuk mewujudkan tujuan hakiki kemajuan daerah.

Sebab saat Visi Misi daerah yang diangkat dari penjabaran janji janji kampanye calon terpilih yang dituangkan dalam lembaran undang undang atau peraturan daerah atau disebut rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) daerah. RPJM itu merupakan representasi dan aplikasi dari janji janji kampanye calon terpilih sebagai pertanggungjawawaban janjinya kehadapan rakyat dan pemilik nya.

Ini juga menjadi salah satu indikator dalam melihat dan menilai keberhasil sebuah daerah itu. Intinya tercapainya target RPJM sebagai landasan pembangunan daerah yang berkelanjutan. Apakah daerah yempat lahir kita sudah terbagun harmonisasi di tubuh pemerintahannya dengan seluruh komponen? Jawabannya cukup dihati pembaca yang budiman.

Dewasa ini oenetapan dan pengangkatan aparatur di tubuh pemerintah terindikasi tak lagi terukur seperti dulu, meski masih dalam pengawalan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), namun kondisinya dunia birokrasi kian tenggelam dan menatap masa masa suramnya.

Kondisi ini menurut amatan penulis adalah dampak terburuk dari otoda dan sistem pemilihan langsung. Sudah saatnya khusus ASN kembali ditarik pemerintah pusat penanganannya. Jika tidak titian karir pegawai negeri akan menatap masa masa yang makin kelam.

Penulis mengamati ke alam dunia birokrasi, pergantian, pengangkatan serta penempatan seakan tak lagi memiliki aturan yang kuat dan jelas. Ini amat merugikan potensi dan aset aset sumber daya manusia (SDM) lokal yang dimiliki daerah. Lahirnya pejabat pejabat karbitan yang tak mumpuni dengan penempatan lebih berazaskan pada kesepahaman dan kedekatan.

Jarang lagi kita mendengar diklat kepemimpinan di setiap tingkatan sebelum mendapatkan jabatan, yang ada hanya kesepahaman. Penempatan pegawai yang tak lagi merujuk pada proporsional dan profesional berdasarkan latar belakang pengalaman dan pendidikan seorang pegawai negeri. Politik seakan akan menjadi sebuah senjata kehancuran pegawai untuk masa masa yang akan datang di republik ini.

Hampir rata-rata daerah kursi pejabat pemerintahan itu seakan berduri dan berbalut kegelisahan, bisa saja hari ini dan esok kursi empuk itu beralih pada yang lainnya. Hal yang lebih memiriskan, tak sedikit seorang guru yang diangkat menjadi seorang camat.

Begitu juga penempatan bidang lainnya memiliki latar belakang dan pengalaman berbeda-beda. Orang-orang fungsional juga memanfaatkan kedekatan dengan pimpinannya, mereka juga ikut dan saling sikut berburu jabatan jabatan strategis di struktural.

Demikianlah sekilas untuk referensi bagi pembaca, tulisan ini diterbitkan berdasarkan amatan dan pantauan penulis selama petualangan. (SYAMSUL AZWAR, Wartawan Muda)



Kunjungi Kami di Google News:

google news
Exit mobile version