Oleh: Esaka Juan (Mahasiswa IPB University)
Di era globalisasi dan modernisasi ini, tantangan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan menjadi semakin kritis. Penggunaan plastik sebagai kemasan minuman dan makanan sulit untuk dihindari. Kemasan plastik seringkali dipilih karena memiliki beberapa kelebihan seperti murah, ringan, kuat, tidak berkarat, fleksibel, dan memiliki sifat termoplastis (Candra dan Sucita 2015).
Namun demikian, kemasan plastik yang dibuang setelah pemakaian seringkali menjadi penyumbang besar pencemaran lingkungan. Plastik dikenal dengan ketahanannya terhadap proses degradasi, membutuhkan ratusan hingga ribuan tahun untuk terurai. Selama proses degradasi ini, plastik berubah menjadi mikroplastik yang akhirnya tersebar di seluruh lingkungan, dari tanah hingga lautan.
Pengelolaan sampah plastik pun menjadi tantangan yang kompleks. Meskipun daur ulang terdengar sebagai solusi, kenyataannya hanya sebagian kecil plastik yang berhasil didaur ulang. Akibatnya, mayoritas sampah plastik berakhir di TPA atau dibakar, keduanya memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.
Menghadapi dampak negatif ini, ada dorongan global untuk beralih ke alternatif yang lebih berkelanjutan. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah inovasi dalam pengemasan makanan, terutama pengembangan edible packaging yang memanfaatkan komoditas lokal. Langkah ini bukan hanya mengurangi dependensi terhadap plastik tetapi juga membuka peluang untuk praktek yang lebih ramah lingkungan, menjanjikan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi kita semua.
Mengenal Edible Packaging
Edible packaging adalah lapisan pelindung yang dibuat di sekitar permukaan makanan dengan menerapkan solusi yang terbuat dari polimer yang dapat dimakan, seperti polisakarida, protein, lipid, atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut (Dhaka dan Upadhyay 2018).
Lapisan pelindung ini berfungsi sebagai penghalang antara makanan dan lingkungan eksternal, sehingga dapat menunda proses pematangan dan pembusukan. Lapisan ini juga meningkatkan umur simpan makanan yang dilapisi dengan meningkatkan sifat penghalang gas dan kelembaban, sifat mekanis, kualitas sensoris, dan bahkan karakteristik nutrisi dari makanan yang dibungkus atau dilapisi (Sudjatha dan Wisaniyasa 2017).
Berbeda dari kemasan biodegradable, edible packaging harus memenuhi persyaratan dasar yang ketat terkait kemampuan dimakan dan non-toksisitasnya, selaras dengan regulasi pangan yang berlaku, untuk memastikan keamanan dan kenyamanan konsumen. Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film).
Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah (intermediate moisture foods), produk gula-gula, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan, dan obat-obatan, terutama untuk pelapis kapsul.
Potensi Komoditas Lokal sebagai bahan baku
Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam yang luar biasa, memiliki potensi besar dalam pengembangan edible packaging. Beberapa komoditas mulai dari pati singkong, karagenan dari rumput laut, hingga pektin dari kulit buah dapat diolah menjadi kemasan yang ramah lingkungan.
Menurut penelitian Apriyani et al. (2020), kulit ubi kayu yang selama ini sering dianggap sebagai limbah dan hanya digunakan sebagai pakan ternak, ternyata memiliki potensi signifikan untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Dengan kandungan pati yang melimpah, berkisar antara 44-59 persen, kulit ubi kayu menjadi bahan dasar untuk pembuatan edible coating.
Sifat pati sebagai polisakarida yang mudah terurai dan biodegradable juga menambah nilai tambahnya sebagai bahan baku yang ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan limbah yang melimpah dan mudah diperoleh ini, pengembangan edible packaging berbasis komoditas lokal tidak hanya menawarkan solusi pengemasan yang berkelanjutan tetapi juga membantu dalam mengurangi limbah dan mendukung ekonomi lokal.
Selain itu, rumput laut yang melimpah di perairan Indonesia. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii berpotensi dalam produksi karagenan, suatu polisakarida yang dikenal dengan kemampuannya membentuk gel.
Menurut penelitian Fardyanti dan Julianur (2015), karagenan dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan edible film dengan penambahan komponen seperti lilin lebah dan sorbitol sebagai plasticizer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa edible film yang dibuat dari campuran komposit karagenan dan lilin lebah memiliki karakteristik mekanis yang baik, termasuk kekuatan tarik yang tinggi dan kelarutan yang optimal.
Ini menunjukkan bahwa dengan menggabungkan bahan-bahan alami dari sumber lokal seperti karagenan dari rumput laut, dapat dikembangkan edible film yang tidak hanya ramah lingkungan tapi juga memiliki kualitas mekanis yang baik, menawarkan alternatif berkelanjutan untuk pengemasan makanan.
Sinergi Menuju Keberlanjutan
Sinergi antara pengembangan edible pacakging dan pemanfaatan komoditas lokal menciptakan lingkaran keberlanjutan yang menguntungkan. Edible packaging dapat menjadi bagian dari solusi untuk masa depan yang lebih hijau. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada bahan impor tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan perikanan. Ini juga membuka peluang kerja dan inovasi dalam bidang teknologi pangan dan kemasan.
Tantangan dan Peluang
Meskipun prospeknya menjanjikan dan potensinya besar, pengembangan edible packaging dari komoditas lokal menghadapi beberapa tantangan. Ini termasuk peningkatan kesadaran dan penerimaan konsumen, penjaminan kualitas dan keamanan produk, serta peningkatan kapasitas produksi.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga penelitian untuk investasi dalam penelitian dan pengembangan, pendidikan konsumen, dan pembuatan kebijakan yang mendukung.
Edible packaging menawarkan jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, dengan mengurangi limbah kemasan dan memanfaatkan sumber daya lokal. Dengan sinergi yang kuat antara pengembangan edible packaging dan komoditas lokal, Indonesia dapat mengambil peran penting dalam revolusi industri kemasan global.
Langkah ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan tetapi juga untuk pertumbuhan ekonomi dan inovasi di Indonesia. Mari kita bergerak menuju masa depan yang lebih hijau dengan menggabungkan inovasi, tradisi, dan keberlanjutan.
Referensi:
- Apriyani S, Prasetya A. Mujiharjo S. 2020. Aplikasi pati kulit ubi kayu sebagai bahan baku edible coating dengan penambahan kitosan untuk memperpanjang umur simpan jeruk rimau gerga lebong (RGL) Bengkulu. Jurnal Agroindustri. 10(1):21-32.
- Candra RM, Sucita D. 2015. Sistem pakar penentuan jenis plastik berdasarkan sifat plastik terhadap makanan yang akan dikemas menggunakan metode certainty factor (Studi Kasus : CV. Minapack Pekanbaru). Jurnal Core IT. 1(2):77-84.
- Dhaka RK, Upadhyay A. 2018. Edible film and coatings: a brief overview. The Pharma Innovation Journal. 7(7):331-333.
- Fardhyanti DS, Julianur SS. 2015. Karakterisasi edible film berbahan dasar ekstrak karagenan dari rumput laut (Eucheuma Cottonii). Jurnal Bahan Alam Terbarukan. 4(2):68-73.
- Sudjatha W, Wisaniyasa NW. 2017. Fisiologi dan Teknologi Pascapanen. Udayana University Press. Bali: Indonesia.