PADANG-Kekerasan sering disebut sebagai suatu tindakan tercela yang menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt), atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai oleh penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Menurut KBBI sendiri kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah segala bentuk ancaman, pelecehan, dan kekerasan antara dua orang yang terikat dalam hubungan pernikahan atau anggota keluarga lain, misalnya anak.
Dalam KDRT yang biasanya dilakukan didalam hubungan rumah tangga yang sifatnya mengacu pada perbuatan seseorang terhadap pasangan terutama perempuan, yang berakibat pada suatu tindakan pemaksaan, penderitaan baik secara fisik, psikologis, mental, seksual ataupun dalam penelantaran hak seseorang dalam rumah tangga, yang biasanya hal ini termasuk pada pemaksaan, perampasan, perbuatan yang merampas kemerdekaan hak seseorang secara paksa.
Dalam suatu tindakan kekerasan terlebih lagi kekerasan dalam rumah tangga yang lebih dominan dan yang biasanya kita sering temukan dalam kasus – kasus yang beredar terlebih lagi dalam tiga tahun belakangan ini kasus KDRT melonjak meramaikan kasus kekerasan yang hadir di permukaan.
Dalam kasus ini perempuan acap kali menjadi korban. Hal ini mungkin saja terbentuk karena adanya nilai budaya, nilai – nilai masyarakat yang membentuk stigma dan juga ideologi terhadap perempuan perbuatan ini juga dibentuk karena adanya gejolak patriarki yang timbul. Secara budaya, stigma, dan sering juga dijumpai melalui adat istiadat bahwasanya laki–laki lebih dominan disebut sebagai penguasa yang lebih memiliki kuasa dalam segala hal, apalagi dalam sebuah rumah tangga dan kepala rumah tangga.
Laki–laki juga seringkali merasa bahwa mereka memiliki sebuah hak kontrol yang dapat mengatural ini dapat menjadikan pemicu utama dalam wewenang mereka yang kadang bisa menyalahgunakan hal tersebut dan berdampak pada adanya kasus KDRT yang marak terjadi.
Kita perlu prihatin dan waspada bagaimana menjadikan kemaskulinitas seorang laki-laki melalui gambaran yang gagah, kuat, macho, dan lain sebagainya tidak disalah artikan.
Dalam hal ini adanya pelabelan gender yang marak terjadi yang mengelompokan stigma buruk terhadap beberapa pihak khususnya yang sering terjadi terhadap perempuan perlu secepatnya diubah agar pengaktualisasi terhadap stigma tersebut tidak lagi menyimpang. (Salsabila Annisa Putri, Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas)