Pada 2013, sebuah dialog pendidikan yang dihadiri ratusan peserta yang meliputi guru, kepala sekolah, dan pengambil kebijakan di bidang pendidikan digelar di Dharmasraya.
Saya dan kawan-kawan yang baru mendirikan sekolah tentu tak mau ketinggalan gerbong. Kami mengikuti acara dengan semangat menimba ilmu yang berapi-api. Tapi, tak dinyana, sebuah pukulan tanpa aba-aba menyerang kami di tengah acara.
Ya, seorang kepala sekolah bergelar Magister Pendidikan di Dharmasraya mengeluarkan pernyataan yang memancing perhatian segenap hadirin.
“Kalau di dunia kepolisian kita mengenal polisi gadungan, di dunia kedokteran ada dokter gadungan; di dunia pendidikan, bagi orang yang tidak lulus sarjana pendidikan tapi mengelola pendidikan, dikenal istilah guru gadungan,” katanya penuh percaya diri. “Orang-orang seperti ini harus ditangkap!” pungkasnya tanpa tedeng aling-aling.
Sebagai pendiri sekolah baru dengan gelar sarjana pertanian, tentu saja pernyataan itu menohok saya. Dan saya bukan satu-satunya yang merasakan hal tersebut. Saya gelisah dan merasa pernyataan itu sungguh tidak adil. Apakah benar dunia pendidikan milik mereka yang berlatar akademis keguruan atau pendidikan semata, renung saya. Bagaimana orang-orang nonpendidikan seperti saya dan kawan-kawan yang merasa prihatin melihat generasi usia sekolah kecanduan ngelem, hamil di luar nikah, atau laku tak terpuji lainnya, sehingga kami memberanikan diri untuk membuat sekolah? Apakah tidak boleh, dengan tujuan membangun generasi unggul, kalangan awam ambil bagian?
Pada 2009, Anies Baswedan, sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, merilis program penting dalam sejarah pendidikan modern: Indonesia Mengajar. Program yang dari namanya kita tahu bertujuan untuk memajukan pendidikan di Indonesia ini membuka tangan lebar-lebar kepada para sarjana lintas disiplin ilmu untuk ambil bagian. Antusiasme para sarjana muda ternyata luar biasa.
Pada 2013, tahun yang sama dengan pernyataan kontroversial si kepala sekolah itu dilontarkan, Indonesia Mengajar diserbu 1.700 pendaftar. Menariknya, dari 53 orang yang diterima, hanya 3 orang yang berkualifikasi sarjana pendidikan.
Setelah diberi pelatihan intensif selama hampir dua bulan, kelima puluh tiga peserta terpilih tersebut ditugaskan di sekolah dasar-sekolah dasar di pelosok Indonesia selama satu tahun. Sebagai apa? Tentu saja sebagai guru. Kita tahu, program ini kemudian menuai sukses karena banyak genius muda lahir dari daerah dan banyak alumnus Indonesia Mengajar kini sudah berkecimpung dan memegang peranan penting di dunia pendidikan Tanah Air.
Permasalahannya, apabila merujuk pernyataan dari Kepala Sekolah si Magister Pendidikan sebelumnya, Anies Baswedan sejatinya telah “lancang” mengirim 50 guru gadungan ke SD-SD dari Aceh Utara hingga Fakfak. Lebih jauh, bukan hanya kelima puluh guru gadungan, tapi juga sebagai pengagas Indonesia Mengajar, Anies juga harus ditangkap!
Saya pernah belajar kepada Munif Chatib, seorang konsultan pendidikan terkemuka Tanah Air. Ilmunya tak diragukan lagi. Ia terbukti mampu mengubah sekolah yang sebelumnya bermasalah hingga akhirnya bertumbuh, berubah menjadi lebih baik. Banyak sekolah di Indonesia belajar dan berkonsultasi kepadanya. Karya bukunya tentang pendidikan banyak, seperti Sekolahnya Manusia, Orang Tuanya Manusia, dan banyak judul lainnya, dirujuk banyak ahli pendidikan. Apa latar belakang pendidikannya? Sarjana Hukum! Aduh, Chatib adalah guru gadungan dan harus ditangkap!
Taufiq Ismail, penyair besar Indonesia yang juga masyhur namanya di mancanegara, dengan puisinya dikenal oleh banyak kalangan, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa membaca karyanya, telah menjadi guru bagi banyak orang dalam urusan menulis puisi yang baik. Sayang sekali, dia seharusnya ditangkap karena latar belakang akademisnya bukan sarjana sastra, melainkan kedokteran hewan.
Masih dari ranah sastra: Benny Arnas, penulis profilik yang telah merilis 26 buku (termasuk Hayya yang versi layar lebarnya tayang tahun 2019 lalu dan membetot perhatian banyak pembaca dan penonton sehingga menyumbangkan 2,7 miliar untuk Palestina) adalah almamater saya di Fakultas Pertanian. Dengan sangat menyesal, dia “seharusnya” digelandang karena sastrawan gadungan itu berani-beraninya menulis karya sastra untuk publik!
Cukup? Belum. Torey Hayden, sarjana kimia ini “tak tahu diri” dengan berkecimpung di dunia khusus anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami luka batin. Meskipun banyak keluarga dan anak-anak berhasil bangkit menjalani hidup melalui banyak tulisan dan bukunya, Hayden tetap harus ditangkap karena gadungan, karena bukan sarjana pendidikan!
Ada lagi yang harus ditangkap? Ada!
Prof. Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan tahun 2009-2014, dan wakilnya Prof. Musliar Kasim, pun tidak berlatar belakang sarjana pendidikan. Nuh adalah seorang teknokrat bidang teknik, sedangkan Kasim adalah dosen saya di Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Kedua tokoh nasional ini, sayang sekali, di mata si Magister Pendidikan serta Kepala Sekolah di Dharmasraya itu, harusnya sudah lama mendekam dalam penjara.
Setahun setelah dialog pendidikan itu, sekolah yang saya pimpin, qadarullah, mendapatkan medali di Olimpiade Matematika Tingkat Nasional, capaian yang belum pernah ditorehkan Dharmasraya. Kenyataan yang tak kalah membanggakan adalah siswa yang mengharumkan nama sekolah tersebut ternyata hafal Al Quran 5 Juz!
“Selamat Mas Yusuf!” si Magiter Pendidikan itu rupanya berjiwa besar menyalami saya. “Ini semua karena Allah,” kata saya seraya tersenyum. “Allah bersama siapa pun,” lanjut saya dalam hati, “bersama mereka yang mau mengambil peran untuk kebaikan umat, tak terkecuali ‘guru gadungan’.”
Ya, tugas kita hanya memperbaharui niat dan mendekat kepada-Nya. Merayu-Nya dengan memantaskan diri menjadi yang terbaik. Tak penting ijazah yang disandang, apabila hal itu justru membuat kita mengabaikan urusan yang lebih besar: menebar manfaat.
Janji-Nya pasti. Di saat kita tidak bisa, Allah yang akan membisakan. Di saat kita tak mampu, Allah memampukan. Kalau kita tidak punya tim yang ahli, Allah akan mengirimkan bala bantuan ntuk membersamai kita. Lalu, kalau Allah sebegitu pemurah-Nya, siapa kita yang berani memvonis ini-itu kepada mereka yang berjuang untuk kemaslahatan.
Jadi, tak perlulah berbangga-bangga dengan ijazah. Apalagi, sampai menganggap orang lain yang tidak memiliki latar belakang yang koheren dengan dunia pendidikan tidak berhak mengambil peran membangun bangsa atas vonis inkomptensi buta.
Lagi pula, (si)apa sebenarnya guru itu? Kalau guru kerap ditunjuk sebagai pihak yang bertanggung jawab serta paling berhak mengurusi pendidikan, paradigma itu harus segera direvisi.
Mengapa?
Karena, pada dasarnya, kita semua bertanggung jawab dengan masa depan anak-anak kita. Kita semua adalah guru. Apa pun lulusannya, bila layak digugu dan ditiru, kita adalah guru. Yang artinya pula, status itu gugur dengan sendirinya apabila kita gagal menjadi dan memberi teladan. Ya, seorang kepala sekolah, meski bergelar magister pendidikan sekalipun, apabila merokok di depan murid, keguruannya patut dipertanyakan.
Inilah belenggu paradigma. Yang dogmatis. Yang tidak relevan dengan kebutuhan dan kemajuan zaman. Memaknai keahlian hanya lewat selembar ijazah adalah cara berpikir sesat. Apalagi bila sampai diungkapkan seseorang yang bertanggung jawab dengan masa depan bangsa: pendidikan. Bagaimanapun, ijazah adalah selembar kertas. Sebagaimana benda mati, ia takkan bisa berubah. Sementara pemilik ijazah bisa berubah, menjadi lebih baik, menjadi cahaya.
Bagi siapa.
Bagi apa saja.
Tak terkecuali bagi pendidikan bangsa. (Yusuf Efendi, Mahasiswa Pasca Sarjana Undhari)