PADANG-Catatan tahunan Komnas Perempuan diluncurkan setiap tahun untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret. Catatan Komnas Perempuan dimaksudkan memaparkan gambaran umum tentang bentuk kekerasan yang dialami, perempuan Indonesia dan memaparkan kapasitas Lembaga pengadalayanan bagi perempuan korban kekerasan.
Data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang 2022 menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasa terhadap perempuan yang dominan (2.228/ 38.21%). Jika dilihat secara rinci pada pengaduan Komnas Perempuan di ranah publik, kekerasan seksual selalu menjadi kasus pengaduan tertinggi (1.127 kasus).
Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) dalam kasus berbasis siber, ancaman yang terjadi di dunia siber biasanya terjadi di ranah personal. KSBG di ranah personal memiliki pola yang hampir sama, yakni korban diancam oleh pelaku dengan menyebarkan foto atau video korban yang bernuansa seksual di media sosial ketika korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku atau korban memutuskan hubungan dengan pelaku. Bentuk kekerasan seksual menggunakan teknologi media atau kejahatan siber menjadi kasus mengemuka selama 4 tahun terakhir.
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan di ranah publik terjadi di berbagai tempat, di antaranya di ranah siber (online), di tempat tinggal, di tempat umum, di tempat Pendidikan, di tempat kerja bahkan di tempat fasilitas medis. Catatan meneriknya adalah, masih ada pelaku yang seharusnya menjadi pelindung, teladam dan pihak yang dihormati seperti tokoh gutu, dosen, tokoh agama maupun pejabat politik.
KBG Terhadap perempuan di dunia Pendidikan menjadi perhatian Komnas Perempuan untuk CATAHU 2022. Laporan ke Komnas Perempuan periode 2015-2021 menunjukkan bahwa kekerasan juga terjadi di lingkungan pendidikan. Hal ini menunjukkan, sejumlah Pendidikan bukan ruang aman bagi anak didik maupun civitas akademika lainnya.
Kasus yang diadukan merupakan kasus dengan masalak puncak. Karena umumnya kasus-kasus kekerasan di lingkungan Pendidikan tidak diadukan/dilaporkan. Karena itu system penyelenggaraan Pendidikan nasional perlu membangun mekanisme baru dalam pencegahan dan penanganan KBG terhadap perempuan sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Minimnya perlindungan yang didapatkan korban sangat berdampak pada kondisi psikologis korban. Mereka bahkan disalahkan akibat kejahatan para predator seksual yang bahkan telah merampas hak-hak mereka sebagai seorang siswa maupun mahasiswa. Karena jumlah kasus kekerasan yang dirilis Kemendikbudristek pada tahun 2021 banyak terjadi di perguruan tinggi. Banyak korban mengalami perundungan, pencabulan disusul kekerasan psikis lainnya fan korban mendapat diskriminasi berupa dikeluarkan dari sekolah. Perlu diketahui korban mengalami bentuk kekerasan berlapis, yakni kekerasan seksual, sekaligus kekerasan psikis.
Secara umum, hambatan keadilan yang dialami korban adalah penundaan berlarut dan kesulitan dalam system pembuktian. Sebagian dari korban mengalami trauma bahkan takut untuk muncul dalam ruang publik. Bahkan penundaan tersebut mengakibatkan kadaluwarsa penuntutan.
Karema dalam merespon kasus kekerasan seksual, belum semua Lembaga pendidikam memberikan akses keadilan termasuk mendukung pemulihan terhadap korban. Masih ditemukan intimidasi, ancaman dan saran pemaksaan perkawinan dengan pelaku untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual.
Hambatan keadilan, ketiadaan perlindungan dan pemulihan tidak dapat dilepaskan dari pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan pribadi yang membawa aib dan merusak nama baik sekolah maupun kampus sehingga kasus tersebut berusaha ditutupi agar tidak diketahui publik.
Sementara itu, Permendikbud Ristek Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi masih ada yang belum tersosialisasi.
Oleh karena itu upaya dalam pemenuhan hak-hak korban kekerasan terhadap perempuan harus diakui keberadaannya. Sanksi hukum yang lebih berat ahrus dijalankan untuk melindungi hak-hak korban. memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban, untuk itu, perlu upaya strategis di luar diri korban guna mendukung dan memberikan perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus kekerasan yang menimpa.
Karena selama ini kekerasan seksual di ranah personal itu sangat tertutup, sekarang dengan pengetahuan ,juga basis perkembangan layanan. perempuan menjadi berani untuk melaporkan,. Bagaimana meminta dukungan semua pihak, termasuk negara. tentunya semua itu harus diikuti dengan peningkatan layanan negara. penegak hukum di Indonesia masih kurang berpihak dan berprespektif korban. pendidikan dan edukasi lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Layanan bagi pengaduan dan penanganan korban KDRT dapat ditujukan kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang terdapat di berbagi provinsi. P2TP2A ini berada langsung di bawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Informasi kontak pengaduan dan layanan bagi korban terdapat pada website komnas perempuan. (Rahmatul Anggia, Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas)