SOLOK-Bertahun-tahun mengabdi sebagai guru honorer di nagari tertinggal dan terisolir tidak membuat Mulfi Yepra jadi menyerah. Ia tidak ingin menyesali nasib. Mulfi berusaha menjalankan pilihan hidupnya dengan semangat membara. Tekadnya untuk menjadi guru begitu kuat. Ia tidak pernah membayangkan bisa menjadi guru definitif atau guru PNS (pegawai negeri sipil). Itu disadari sepenuhnya mengingat ijazah SMA yang dimilikinya, tidak memungkinkannya untuk menjadi guru, apalagi ia mengawali pengabdiannya sebagai guru honorer di SMP.
“Saya berijazah SMA jurusan IPS, mengabdi sebagai guru honorer di SMP,” ujar Mulfi Yepra mengawali cerita perjalanannya mengabdi di nagari tertinggal dan terisolir. Darah guru yang mengalir dari sang ayah membuatnya merasa nyaman menjadi guru. Ia belajar lebih keras untuk bisa membimbing peserta didiknya. Apalagi pada awal memulai pengabdian, ia harus mengajar dua mata pelajaran sekaligus yakni bahasa Indonesia dan olahraga. Dua mata pelajaran yang tidak terkait dengan latar belakang pendidikannya sama sekali.
Keinginan Mulfi Yepra untuk mengabdi sebagai guru justru ketika ia sudah berkeluarga, punya istri dan buah hati. Ia menikah pada 1998 dengan seorang guru. Sementara ia sendiri hidup sebagai petani. Lima tahun setelah menikah, yakni 2003 keinginan untuk mengabdi sebagai guru terkabul. Sebuah SMP berdiri di Nagari Sariak Alahan Tigo, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok. Kehadiran SMP di nagari tertinggal lagi terisolir ini membuka pintu masuk baginya untuk memulai karir sebagai guru honorer. Sekalipun saat itu usianya sudah 34 tahun. Namun tidak ada kata terlambat bagi Mulfi Yepra. Dengan semangat membara, ia kerahnya segenap kemampuan. Peluang itu terbuka karena tidak banyak yang mau mengabdi sebagai guru honorer di daerah tertinggal dan terpencil seperti di Sariak Alahan Tigo ini, apalagi dengan penghasilan Rp150.000/bulan.
“Saya tidak berpikir ada atau tidak ada honor,” ujarnya, Sabtu (14/3/2015).
Bisa jadi karena dorongan sang istri yang juga seorang guru, ia begitu menikmati profesi barunya sebagai guru honorer. Tidak ada pengalaman mengajar, tidak pendidikan keguruan, juga tidak ada diklat yang diikuti sebelum ia mengabdi sebagai tenaga honorer. Semuanya berlangsung alami. Namun setiap kali usai mengajar, ia merasakan kepuasan menjalari tubuhnya. Ada motivasi yang terus membuatnya semangat ketika peserta didik terlihat memahami materi pelajaran yang diberikannya. Bahkan Mulfi tidak peduli dengan honornya yang diterimanya setiap bulan. Tidak jarang, ia menggunakan uang pribadinya untuk keperluan peserta didik.
“Kadangkala saya harus mengeluarkan uang pribadi untuk kepentingan peserta didik,” ujar suami dari Wirda Enti Murni ini. Ada kepuasan saat bisa menjadi guru, bahkan ia lupa jika penghasilan sebagai tenaga honorer sangat kecil. Namun kepuasan sebagai guru tidak bisa diukur dengan honor yang diterimanya setiap bulan. Apalagi honor yang diterimanya itu bertahan hampir 10 tahun sejak ia mengabdi. Mulfi Yepra tetap menjalankan pengabdiannya dengan penuh tanggung jawab.
Kecintaan terhadap sekolah dan anak didik mengalahkan keegoannya sebagai pribadi. Sekalipun dengan honorarium Rp150.000/bulan, tidak jarang ia bertahan di sekolah sampai senja menjelang. Ia begitu mencintai sekolah, mencintai profesinya, dan mencintai peserta didiknya. Sekalipun mengabdi di nagari tertinggal yang tidak memiliki listrik, tidak ada signal handphone, dan dengan kondisi jalan yang sulit dilalui kendaraan bermotor, ia tetap mengabdi dengan sepenuh hati.
“Hingga sekarang pun belum ada signal handphone di sini,” ujarnya. Ketika masyarakat di belahan lain gonti-ganti handphone hingga dengan teknologi terbaru, masyarakat di sini tidak bisa memanfaatkannya. Sebaik apapun dan selengkap apapun handphone yang dimiliki, tidak bisa dimanfaatkan. Jika ingin menghubungi keluarga dan teman-teman, ia harus meninggalkan nagari Sariak Alahan Tigo menuju pusat kecamatan Hiliran Gumanti di Talang Babungo, yang berjarak sekitar 12 km. Di sini ia bisa menggunakna handphone tersebut.
Sebagai gambaran, Sariak Alahan Tigo, termasuk salah satu dari 24 nagari sangat tertinggal di Kabupaten Solok. Hingga akhir 2010 tidak satupun kendaraan bermotor yang bisa lancar ke sini. Jalan tanah berlumpur dan membentuk anak sungai membuat kendaraan bermotor tidak bisa bergerak bebas. Untuk menempuh perjalanan sekitar 12 km itu dibutuhkan waktu dua sampai tiga jam dengan kendaraan roda dua. Selain mengendarai kendaraan, seringkali pengedara harus mendorong kendaraan tersebut karena terjebak lumpur. Kendaraan roda empat pun kadang mengalami hal sama, terjebak di lumpur dalam, sehingga tidak bisa bergerak. Tidak heran, ongkos ojek mencapai Rp100.000 untuk sekali jalan dari Talang Babungo ke Sariak Alahan Tigo. Sekalipun sang pengojek sudah biasa ke sini, tetapi sesekali ia harus ditolong untuk mendorong kendaraan roda dua itu karena terjebak oleh lumpur jalan.
“Sekarang jalan sudah mulai lancar, tetapi komunikasi dengan sanak saudara lain melalui handphone tetap belum lancar,” ujar Mulfi Yepra, yang kini mengabdi di SDN 12 Sungai Abu. Sungai Abu juga termasuk nagari sangat tertinggal. Sungai Abu bisa dicapai setelah melewati Sariak Alahan Tigo. Baik di Sungai Abi maupun di Sariak Alahan Tigo, masyarakat belum bisa memanfaatkan handphone dengan leluasa. Mereka memilih meninggalkan nagari ini terlebih dahulu jika ingin berkomunikasi dengan sanak saudaranya dari nagari atau kota lain.
“Saya selalu berpikir bagaimana bisa mendidik peserta didik di nagari tertinggal ini,” jelas kelahiran 13 Juli 1969 ini. Setelah mengabdi sebagai guru honorer di SMPN 2 Hiliran Gumanti hingga 2005, kemudian ia pindah mengabdi sebagai tenaga honorer ke SMPN 3 Hiliran Gumanti, yang semula bernama SMP Satu Atap Sungai Abu. Hanya setahun mengbadi di sini, ia pindah mengabdi sebagai tenaga honorer di SD 12 Sungai Abu pada 2007 hingga sekarang.
“Setelah pindah ke SD 12 Sungai Abu, baru melanjutkan kuliah keguruan,” ujar Mulfi Yepra, anak ke-2 dari enam bersaudara ini. Pada 2013 gelar sarjana pendidikan, akhirnya bisa didapatkannya. Keikhlasannya mengabdi dan keyakinannya pada pertolongan Allah SWT pun membuahkan hasil. Ia dinyatakan lulus sebagai CPNS kategori dua (K-2) pada 2014 lalu. Kini tinggal menunggu proses menjadi Guru PNS.
“Hidup adalah pilihan, maka konsistenlah pada pilihan itu,” ujar Mulfi Yepra lagi. Ketika ia memilih menjadi guru honorer, ia tidak membayangkan bakal bisa menjadi guru, apalagi dalam usia 45 tahun. Namun ada keyakinan penuh dalam dirinya, ketika kita bekerja dengan ikhlas dan profesional, Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Sekalipun dengan penghasilan Rp150.000/bulan sebagai tenaga honorer, Mulfi Yepra tetap mengabdi sepenuh hati.
Kini senyumnya kian merekah, ketika dalam usia 45 tahun ia akhirnya bisa menjadi guru definitif, sebagai guru kelas di SD Negeri 12 Sungai Abu. Sekalipun berada di nagari sangat tertinggal dan terisolir, Mulfi Yepra tetap semangat karena cintanya sudah terlanjur tertambat di nagari tertinggal ini. Waitlem